Porosbaru.com, Banyuangi – Insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali memunculkan keprihatinan mendalam dari Anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Haryo Soekartono.
Dalam kunjungan lapangannya ke Kantor ASDP Ketapang, Banyuwangi, Minggu (6/7), Bambang menyoroti carut-marut regulasi penyeberangan yang dinilai menjadi akar masalah keselamatan pelayaran, khususnya soal manifest dan kendaraan over dimensi over load (ODOL).
Menurut legislator yang juga akrab disapa BHS ini, ketidaktepatan data manifest penumpang menjadi kendala besar dalam proses evakuasi maupun pengurusan hak-hak korban. Hal itu, lanjutnya, merupakan dampak langsung dari peraturan yang membolehkan penumpang kendaraan tidak memiliki tiket individu.
“Regulasinya bermasalah. KM 58 Tahun 2003 yang dulu direvisi menjadi PM 66 Tahun 2019 hanya mengubah formulasi tarif, bukan substansi pendataan penumpang. Tiket untuk penumpang kendaraan dihapus, akibatnya mereka tak tercatat di manifest,” terang Bambang.
Ia mengungkapkan, dalam insiden KMP Tunu, terdapat empat kendaraan yang membawa masing-masing 4 penumpang, namun karena mereka tidak bertiket, data mereka tidak tercantum secara resmi. Hal ini berdampak pada proses pencarian dan klaim asuransi.
“Saya minta Jasa Raharja tetap mengakomodasi hak para korban meski mereka tidak tercantum dalam manifest. Sebab secara substansi, dalam KM 58 disebutkan bahwa satu kendaraan mencakup empat penumpang yang semestinya dilindungi asuransi,” tambahnya.
Politisi yang juga menjabat di Badan Legislasi DPR RI ini mendorong Menteri Perhubungan untuk segera merevisi regulasi lama tersebut dan mengembalikan sistem satu tiket untuk setiap penumpang kendaraan.
“Manifest bukan sekadar formalitas, tapi bagian krusial dari sistem keselamatan pelayaran. Alat keselamatan di kapal harus disesuaikan dengan jumlah penumpang, dan itu hanya bisa dihitung akurat jika manifest benar,” ujarnya.
Tak hanya soal manifest, BHS juga mengkritisi kebijakan tarif penyeberangan yang dinilainya ketinggalan zaman. Tarif saat ini, menurutnya, masih merujuk pada perhitungan biaya tahun 2019, padahal harga pokok produksi (HPP) telah meningkat sekitar 31,8 persen.
“Operator kesulitan memenuhi standar minimum keselamatan dan pelayanan karena tarif yang tak sesuai dengan biaya riil. Ini melanggar amanat UU Pelayaran No. 17 Tahun 2008,” tegasnya.
Lebih jauh, Bambang juga menyinggung kontribusi kendaraan ODOL terhadap musibah KMP Tunu. Ia menjelaskan, muatan berlebih dapat menyebabkan ketidakstabilan kapal, terutama saat menghadapi kondisi cuaca buruk.
“Kapal bisa mengalami *negative stability* dalam hitungan menit bila kelebihan muatan. Ini bukan hal sepele. Negara-negara seperti Jepang bahkan menerapkan tarif progresif bagi truk ODOL untuk mencegah pelanggaran. Misalnya, penambahan satu ton muatan atau satu meter panjang kendaraan dikenai kenaikan tarif hingga 50 persen,” paparnya.
Dalam hal penanganan pascabencana, BHS meminta upaya pencarian korban lebih dimaksimalkan, terutama di wilayah pesisir Banyuwangi dan Jembrana. Ia juga menyerukan pelibatan aktif nelayan, relawan, BPBD, TNI, Polri, serta peningkatan frekuensi informasi kepada keluarga korban.
“Setiap hari harus ada pembaruan informasi kepada keluarga korban. Jangan biarkan mereka menunggu tanpa kepastian. Selain itu, tim trauma healing harus ditambah agar para penyintas dan keluarga korban mendapatkan pendampingan psikologis yang memadai,” pungkasnya.







Komentar